29.8 C
Palu
25 April 2024
Aktivitas

Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa Jadi Prioritas Pemerintah 10 Desember 2021

Menjelang Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional, yakni pada hari Rabu, 25 Agustus 2021, Koalisi Sipil Anti Penghilangan Paksa yang terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari KontraS, Asia Justice and Rights (AJAR), Amnesty International Indonesia, Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI), YLBHI, LBH-Jakarta, ELSAM, Federasi KontraS, KontraS Surabaya, KontraS Sulawesi, KontraS Aceh, LBH-Bandung, Inisiatif Sosial untuk Kesehatan Masyarakat, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah dan pegiat HAM, mengadakan audiensi terbuka secara daring dengan sejumlah instansi pemerintah dan perwakilan legislatif sebagai ruang mempertemukan komitmen keduanya dalam urgensi ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa sebagai perlindungan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia, serta berbagi progres kepada publik terkait langkah yang telah dilakukan pemerintah eksekutif dalam menyusun RUU ratifikasi menuju tahap pembahasan di DPR nantinya.

Dalam audiensi ini, Direktur Instrumen HAM Kemenkumham Timbul Sinaga menjelaskan proses yang telah pihaknya lakukan yaitu pada 30 Juli 2021 Kemenkumham telah membuat surat permohonan izin prakarsa penyusunan RUU pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri sesuai mekanisme perundang-undangan. Pihaknya juga menyatakan sudah beberapa kali mengadakan rapat yang cukup intens terkait persiapan ratifikasi ini dengan melibatkan Kemlu, Kemenko Polhukam dan KSP. “Untuk selanjutnya (surat permohonan izin prakarsa dari Kemlu) akan disampaikan kepada Setneg, dan selanjutnya akan dibantu oleh Setneg dan juga KSP supaya izin prakarsa ini segera keluar dan untuk bisa disampaikan di DPR,” jelas Sinaga. 

Mewakili Kementerian Luar Negeri, Vienna Adza selaku pejabat Fungsional Diplomat Kementerian Luar Negeri memaparkan bahwa sepanjang 2019 dan 2020 Kemlu sudah memperbaharui naskah akademik yang ada, dan juga melakukan sosialisasi serta menghimpun masukan dari Kementerian/Lembaga, akademisi dan stakeholder lainnya. Adza melanjutkan bahwa terkait proses izin prakarsa yang sedang berlangsung, Kemlu akan bertindak sebagai lembaga pendamping. Sebelum audiensi berakhir, Adza menegaskan, “Surat (permohonan izin prakarsa) sudah ditandatangani oleh Ibu Menlu dan besok akan dikirimkan ke Setneg.

Kemenko Polhukam sebagai koordinator yang mensupervisi proses ini, Analis Hukum Ahli Madya Polhukam Faizal Banu menyatakan pada prinsipnya Kemenko Polhukam akan terus mendorong proses ratifikasi dan mensinergikan sesuai tupoksi dan kewenangannya. Sebagaimana Indonesia sudah berkomitmen bahwa merampas kemerdekaan seseorang secara melawan hukum tidak dapat dibenarkan sejak awal merdeka. “Kita akan mencoba semaksimal mungkin berusaha untuk percepatan ataupun penyelesaian proses peratifikasian Konvensi,” ujar Faisal Banu. 

Lebih lanjut mewakili KSP, Mugiyanto menyebutkan bahwa ratifikasi Konvensi ini ialah prioritas pemerintahan Jokowi. Ia mengonfirmasi bahwa Kemenkumham telah menyusun timeline agar izin prakarsa dari Presiden setidaknya keluar pada Oktober 2021 dan dokumen ratifikasi dapat segera diserahkan kepada DPR. Kemudian pada waktu yang tersisa sepanjang November-Desember, pihaknya berharap DPR dapat memproses ratifikasi Konvensi sehingga pada Hari HAM Internasional 10 Desember tahun ini Indonesia sudah menjadi Negara Pihak dari Konvensi Internasional Anti-Penghilangan Paksa. Melanjutkan surat izin prakarsa yang akan dikirimkan Kemlu kepada Setneg, Mugi menyatakan KSP sendiri akan mendorong dan mengawal Setneg agar Surat Presiden perihal RUU Pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa dapat segera dikeluarkan dan diterima oleh DPR. “Fraksi-fraksi yang ada di DPR mudah-mudahan menyetujui ratifikasi yang diajukan oleh Pemerintah supaya kita segera jadi Negara Pihak dan keinginan kita bersama untuk memiliki instrumen untuk pencegahan tindak penghilangan orang secara paksa ke depan ini bisa terwujud,” tutupnya.

Harapan ratifikasi ini disetujui oleh DPR bukan tanpa latar ironis. Faktanya meski dorongan agar Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa pertama kali dikeluarkan DPR tahun 2009, namun ketika RUU Ratifikasi Konvensi ini masuk DPR pada tahun 2013, DPR justru menunda pengesahan hingga waktu yang tidak ditentukan dengan alasan membutuhkan waktu untuk konsultasi dan mengkaji ulang. Sejak itu formasi DPR sudah berganti 2 kali di 2014 dan 2019, namun masih belum ada kepastian atau setidaknya kabar, kapan ratifikasi ini akan kembali dibahas di tingkat legislatif.

Menanggapi proses yang tengah berlangsung di eksekutif, KH. Maman Imanulhaq anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKB menyatakan dengan tegas bahwa PKB memberi respon positif terhadap ratifikasi konvensi. “Pada intinya kita sudah satu suara ya, bahwa semangat kita untuk percepatan ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa itu memang harus bisa terwujud pada momentum 10 Desember ini,” tuturnya. Selain itu, menurutnya pola percepatan antara Pemerintah dan DPR membutuhkan desakan dari masyarakat sipil, baik melalui surat, media sosial, atau pertemuan langsung dengan fraksi-fraksi terkait di DPR RI. 

Pernyataan Kang Maman juga didukung oleh Taufik Basari, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem yang turut menyatakan kesiapannya mendorong ratifikasi Konvensi ini. Selain itu, menurut Taufik Basari atau kerap disapa Tobas, sosialisasi adalah upaya penting yang harus dilakukan Pemerintah. Ia memaparkan bahwa hambatan pro-kontra pengesahan konvensi di kalangan DPR biasanya terjadi karena kesalahpahaman mengenai Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang dapat berimplikasi pada kondisi politik di masa lalu. “Kalau dari TNI/Polri juga menyampaikan dukungan yang kuat dan itu juga sampai ke DPR, tentu akan membantu upaya kita untuk memuluskan jalan persetujuan terhadap ratifikasi Konvensi ini. Jadi tetap kuncinya ada di Pemerintah kalau menurut saya.” tambah Tobas.

Senada dengan hal di atas, Hinca IP Pandjaitan – Komisi III, anggota Baleg DPR dan Sekjen Partai Demokrat sejak Mei 2015, juga menyampaikan komitmen dan dukungan Partai Demokrat dalam meratifikasi Konvensi. Pentingnya isu penghilangan paksa melampaui batas perbedaan siapa koalisi pemerintah atau bukan, melainkan ini tanggungjawab bersama. “Sesungguhnya pada 27 September 2010 yang lalu kita sudah menandatangani Konvensi ini, tapi memang belum meratifikasi. Sehingga bolehlah kita sebut begini Presiden SBY yang memulai, kita harapkan Presiden Jokowi yang menggenapi,” ujarnya. Dalam 95 hari kedepan menuju 10 Desember 2021, Pandjaitan meminta terutama KSP untuk menyiapkan Surat Presiden lebih cepat masuk ke DPR agar pembahasan RUU dapat dilaksanakan di masa sidang legislatif sekarang–yang masih berlangsung hingga Oktober. “Kalau KSP sudah siap, kami tunggu di Parlemen, Senayan. Kapan saja siap,” tegasnya.

Turut hadir anggota Komisi II Fraksi PKS, Nasir Djamil, berkomitmen untuk hal yang sama. Menurutnya, audiensi ini menjadi salah satu upaya masyarakat untuk tidak melupakan hak asasi. Norma HAM masuk dalam amandemen UUD untuk menunjukkan kepada dunia dan masyarakat bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Negara kekuasaan memiliki kebiasaan melupakan bahkan mengubur peristiwa-peristiwa terkait pelanggaran HAM. “Sebenarnya ketika kita konsisten untuk mengimplementasikan dan meratifikasi soal ini, maka itu juga merupakan indikator terkait kemajuan demokrasi, kemajuan peradaban, dan juga kemajuan sebagai negara hukum. Oleh karena itu, negara perlu untuk bersungguh-sungguh agar ratifikasi ini jangan tertunda lagi dan tentu saja Fraksi PKS sebagai salah satu kekuatan politik di parlemen mendorong ini karena yang namanya HAM itu adalah hak yang dia tenteng sejak dia lahir.” tegasnya. “Semakin jauh, semakin lama kita tidak meratifikasi, itu artinya kita tidak punya perasaan lagi. Bayangkan kalau Negara sudah tidak punya perasaan lagi.”

Berbagai pernyataan di atas menunjukkan angin segar kepada masyarakat atas komitmen Negara untuk segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa. Kami mengapresiasi upaya pemerintah yang tengah berjalan dan akan terus mengawal hingga komitmen Negara untuk meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa segera terealisasi. Oleh karena itu kami mendorong agar:

  1. Menteri Sekretaris Negara segera memproses izin prakarsa;
  2. Presiden segera mengeluarkan Surat Presiden perihal RUU Pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa dan mengirimkannya kepada DPR;
  3. DPR segera membahas dan mengesahkan UU Pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa. 

Jakarta, 26 Agustus 2021

Koalisi Sipil Anti Penghilangan Paksa

(KontraS, AJAR, Amnesty International Indonesia, IKOHI, YLBHI, LBH-Jakarta, ELSAM, Federasi KontraS, KontraS Surabaya, KontraS Sulawesi, KontraS Aceh, LBH-Bandung, Inisiatif Sosial untuk Kesehatan Masyarakat, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah)

Tulisan terkait

Sosialisasi Program Rekonstruksi Berbasis Komunitas

Desmayanto

Lokakakarya Membangun Dapur Usaha “Saatu Mombine Padagi”

Rini Lestari

17 Tahun SKP-HAM Sulawesi Tengah

SKP-HAM Sulteng

Tinggalkan Komentar