25.3 C
Palu
24 April 2024
Aktivitas

Tim PPHAM Jaring Rekomendasi Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu di Palu

Upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu di Indonesia, menemui titik terang. Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (PPHAM) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022, mulai bergerak merumuskan rekomendasi, dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia.

Palu menjadi salah satu kota yang dikunjungi oleh tim yang diketuai oleh Prof. Dr. Makarim Wibisono, MA, ini. Selama dua hari, yakni Senin dan Selasa, 28 -29 November 2022, tim ini menjaring informasi dari berbagai pihak, dalam rangka penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu peristiwa 65-66 di Palu.

Pada hari pertama, tim ini menginisiasi diskusi dengan perwakilan korban/keluarga korban peristiwa 65-66 di Palu. Dari pertemuan ini, tim tersebut menemukan sejumlah informasi, baik dari korban langsung, maupun dari keluarga korban. Pemulihan nama baik, pengakuan negara atas adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu pada peristiwa 65-66, juga upaya rehabilitasi dalam bentuk kompensasi, mengemuka dalam diskusi tersebut.

Pada hari kedua, tim menemui Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), juga menemui sejumlah pihak yang terlibat dalam upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu peristiwa 65-66 di Sulteng, khususnya Kota Palu. Dari pertemuan dengan gubernur, tim menjaring informasi tentang keberhasilan praktik penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu peristiwa 65-66 di Kota Palu, yang dimotori oleh Gubernur Sulteng, Rusdy Mastura, saat menjadi Wali Kota Palu. Permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM peristiwa 65-66 di Kota Palu pada 2012, yang kemudian ditindaklanjuti dengan verifikasi dan sentuhan program-program pemberdayaan, diharapkan dapat menjadi masukan berharga bagi tim, untuk dapat direkomendasikan menjadi upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu peristiwa 65-66 oleh pemerintah pusat.

Dari diskusi dengan sejumlah pihak, yang terlibat dalam upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu peristiwa 65-66 di Sulteng, khususnya Kota Palu, sejumlah poin rekomendasi juga lahir. Rekomendasi agar jurnalis diberi keleluasaan untuk memotret kehidupan korban pelanggaran HAM, rekmomendasi agar pemerintah melakukan pendataan secara khusus korban pelanggaran HAM di Indonesia, semisal seperti data TNP2K, kemudian pendekatan seni dalam membangun narasi baru, redefinisikan siapa sesunguhnya korban pelanggaran HAM untuk menentukan siapa saja yang akan mendapatkan program pemenuhan hak korban, rekomendasi untuk membuka arsip-arsip peristiwa 65-66, memikirkan kembali upaya untuk menghapus stigma, juga rekomendasi agar pemerintah dapat berfokus pada pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan dan jaminan tidak berulang, mengemuka dalam diskusi ini.

Direktur Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulteng, Nurlaela Lamasitudju mengatakan, pada hak atas kebenaran, Presiden dapat mengeluarkan pernyataan resmi atas nama negara, yang menyesali terjadinya peristiwa kekerasan di masa lalu, yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM, sehingga jutaan warga negara menjadi korban. Pernyataan menyesal itu bisa dalam bentuk pidato kenegaraan, sebagai ajakan untuk memulihkan martabat bangsa, untuk belajar dari peristiwa kekerasan dimasa lalu itu agar pelanggaran HAM tidak terulang kembali di masa yang akan datang.

“Lalu pada hak atas keadilan, karena proses penyelesaian ini melalui non yudisial, maka korban tetap diberi kebebasan untuk menempuh jalur pengadilan. Lanjut hak atas pemulihan, yang terpenting adalah pemulihan psikologis, karena korban dan keluarganya mengalami trauma akibat stigma bertahun-tahun. Untuk itu, Presiden dapat mengirimkan surat resmi yang dikirimkan kepada seluruh korban, atau kepada anak dan cucu korban. Surat tersebut berisi penyataan menyesal negara dan komitmen negara untuk memenuhi hak korban,” jelasnya.

Lalu lanjut Nurlaela, pemulihan sosial ekonomi dapat diseleraskan dengan program Kementerian Sosial, yang didesain khusus untuk korban pelanggaran HAM. Terakhir, hak atas jaminan ketidakberulangan atau bebas dari kekerasan baru, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu menganggarkan untuk pembuatan monumen pada tempat terjadinya kekerasan. Pembuatan monumen ini perlu melibatkan seniman di daerah. Dengan desain yang instagramable, monumen peristiwa kekerasan dapat menjadi situs wisata sekaligus menjadi tempat belajar sejarah bagi generasi saat ini dan yang akan datang

Ketua Tim PPHAM, prof. Makarim Wibisono mengatakan, tim PPHAM memiliki tugas, yaitumelakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM yang berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komnas HAM sampai dengan tahun 2020, kemudian merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya, serta merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM yang berat tidak terulang di masa yang akan datang.

Rekomendasi dan informasi yang dihimpun dari berbagai pihak di Palu ini sendiri, kata dia akan dirumuskan menjadi rekomendasi yang akan diserahkan kepada Presiden, untuk selanjutnya menjadi upaya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu di Indonesia. JEF

Sumber: Mercusuar

Tulisan terkait

Peraturan Walikota Palu bagi Korban Peristiwa 1965: Jalan Terjal Inisiatif Lokal

Nurlaela Lamasitudju

SKP-HAM Sulteng Luncurkan Buku “Menemukan Indonesia Kembali”

Nurlaela Lamasitudju

Working from The Periphery: SKP-HAM and Official Recognition of The 1965 Atrocities in Palu City, Central Sulawesi

SKP-HAM Sulteng

Tinggalkan Komentar