27.6 C
Palu
23 April 2024
Advokasi

Memupus Stigmatisasi, Menindaklanjuti Pengakuan Presiden atas Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Pernyataan pengakuan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada 11 Januari 2023 tentang pelanggaran HAM yang berat telah terjadi pada berbagai peristiwa di Tanah Air, menuai respon dari kalangan korban pelanggaran HAM di Sulawesi Tengah (Sulteng).

Presiden menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat pada sejumlah peristiwa yakni, peristiwa 1965-1966, peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari, Lampung 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, peristiwa Kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999, peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, peristiwa Wamena, Papua 2003 dan peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Pada kesempatan tersebut, Presiden juga menyampaikan rasa simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Untuk itu, pemerintah akan berupaya memulihkan hak para korban secara adil dan bijaksana.Menanggapi hal tersebut, para korban pelanggaran HAM peristiwa 1965-1966 di Sulteng yang terhimpun dalam Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulteng, menyatakan bersyukur dengan pernyataan presiden tersebut. Hal ini sudah dinantikan oleh korban selama berpuluh-puluh tahun.

“Alhamdulillah sekali dengan pernyataan Presiden ini. Dulu, kita seperti rumput yang tidak dihiraukan orang, cuma saya pikir, kita diam saja, karena saya yakin saya tidak bersalah. Sekarang dengan pernyataan presiden, sudah terbukti kami tidak bersalah,” ujar Djafar, salah seorang korban pelanggaran HAM peristiwa 1965-1966.

Hal serupa juga disampaikan oleh anak korban pelanggaran HAM 1965-1966, Mariana, juga cucu korban, Novian. Menurutnya, pidato presiden ini merupakan kabar gembira bagi korban. Dirinya terharu mendengar pernyataan itu, namun kata dia, pernyataan itu harus dipastikan dengan jaminan ketidakberulangan.

“Pernyataan ini tidak lantas menjamin stigma akan terhapus. Harus lahir regulasi lanjutan agar stigmatisasi tidak terjadi, agar kekerasan yang sama tidak berulang,” ujarnya.

Salah seorang jurnalis, Yardin Hasan mengatakan, terlepas apakah pernyataan pengakuan ini terlambat, namun ini adalah sesuatu yang harus disyukuri. Kata dia, hal yang harus dilakukan saat ini adalah upaya untuk melawan stigmatisasi, dengan membangun narasi lewat sosialisasi ke masyarakat akar rumput, untuk membangun penerimaan kembali masyarakat terhadap korban dan keluarganya.

“Pernyataan ini harus ditindaklanjuti dengan pendekatan hukum, untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu,” ujarnya.

Direktur SKP-HAM Sulteng, Nurlaela Lamasitudju mengatakan, pernyataan pengakuan presiden atas pelanggaran HAM berat di masa lalu ini harus ditindaklanjuti dengan hadirnya kebijakan dan alokasi anggaran untuk memastikan upaya pemulihan harkat dan martabat korban.

“Kebijakan ini juga nantinya harus ditindaklanjuti dengan verifikasi dan validasi data korban hingga ke tingkat desa,” ujarnya. JEF

Sumber: Mercusuar

Tulisan terkait

Krisis Air di Desa Soulowe

Desmayanto

SKP-HAM Terus Mendampingi Keluarga Erfaldi Mendapat Keadilan

SKP-HAM Sulteng

New Perspectives on the 1965 Violence in Indonesia

Vannessa Hearman

Tinggalkan Komentar