37Dimulai dari dapur kami ingin bercerita banyak hal pada penyintas.Dapur umum di sekretariat Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM lebih dulu hidup ketika matahari baru muncul menyinari Kota Palu, Sulteng, Kamis (25/10/2018). Lewat tangan-tangan relawannya, potongan beragam jenis sayuran siap dimasak. Potongan tempe telah digoreng. Dipanaskan dengan api dari kayu bakar, 20 kilogram beras menunggu matang.“Kak, bagaimana ini, nasinya matang di tengah, tapi keras di pinggirnya,” tanya Amin (20), relawan dapur umum.“Iya, butuh tambah air,” jawab Sisilia Loborahima (36), relawan lainnya. Pemilik usaha katering di Kota Palu ini jadi koordinator dapur umum itu.Amin lantas menambahkan sedikit air. Selepas itu, ia kembali membantu rekannya mengupas kentang bakal sambal goreng. “Sebelum ini tidak pernah memasak. Biasa beli jadi. Kalaupun masak nasi tinggal kasih masuk rice cooker. Kali ini karena misinya kemanusiaan, saya mulai belajar,” kata dia.Sisilia dan Amin adalah dua dari 20 relawan dapur umum yang bekerja lima hari setelah gempa-tsunami menerjang Sulteng. Misinya memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari para penyintas dan relawan selama masa tanggap darurat. Bahan masakannya diperoleh dari jejaring LSM hingga para donatur.“Kami pernah menyediakan 1.000 nasi bungkus dalam sehari di awal bencana, tapi kini membuat 350 bungkus saja. Tenaganya terbatas,” kata Amin.Menunya juga istimewa. Tak ada makanan berbahan mi instan, pengawet, atau tambahan penyedap masakan alias MSG. Sisilia ingin semua masakan benar-benar sehat. Apalagi, dapur ini juga pemasok utama makanan bagi 40 lansia di panti jompo Al Kautsar, Palu.“Dalam situasi bencana, semua orang butuh fisik sehat. Perut kenyang dan tubuh sehat jadi modal utama melakukan banyak hal,” kata Sisilia.Bukan hanya menyediakan makanan sehat, dapur ini pun tempat meredakan trauma relawan, yang sebagian besar juga penyintas. Suasana dapur penuh canda tawa, yang juga jadi “bumbu” utama masakan. Sisilia membuktikannya. Memasak sekaligus berinteraksi antarpenyintas, secara perlahan turut mengikis duka pascakehilangan keluarga akibat bencana.SolidaritasSemangat itu juga ditularkan ke sebelas desa lain di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi. Memanfaatkan jaringan pendampingan yang dijaga SKP HAM sejak 2004, dapur-dapur berdiri digawangi warga setempat. SKP HAM, organisasi masyarakat sipil di bidang hak asasi manusia, menjadi distributor bahan makanan. Warga menyediakan tenaga, lalu memberikannya pada penyintas bencana lain di sekitarnya.Dapur umum yang diinisiasi Ny Windra (46) bersama ibu-ibu di Dusun II, Desa Souluwe, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, contohnya. Total, sudah 20 hari mereka memasak bersama mulai pagi, sebelum dikirim ke warga setiap pukul 11.00. Dari hanya tujuh ibu, kini ada 25 ibu ikut memasak.Suasana dapur umum di Desa Soulowe, Kabupaten Sigi.“Tiga dusun lain di desa ini juga tertarik membuat dapur umum serupa. Bahan-bahannya juga dibantu SKP HAM. Biasanya pengirimannya per tiga hari,” katanya.Bersyukur, gerakan ini turut menumbuhkan solidaritas sesama penyintas. Saat pasokan terlambat datang atau tak cukup untuk banyak orang, mereka mandiri. Sayuran di kebun mereka dipetik. Simpanan beras hingga garam dan gula di rumah diangkut ke dapur umum.“Kami semua hanya buruh tani yang tidak tahu bakal bekerja apa esok. Saluran irigasi di sini hancur. Namun, sekarang bukan saatnya pikir kebutuhan perut sendiri. Ada kepentingan bersama yang jauh lebih besar,” kata Ny Windra.Kamis (25/10) siang, saat pasokan bahan baku belum datang, api tungku dapur di Dusun II tetap menyala. Sebanyak 20 kg beras patungan warga dimasak. Sayurnya daun kelor dan ubi kayu dari kebun warga. Cabai merah bakal sambal dipotong bersama. Tak ada keluhan saat memasak dan mengemasnya dalam 40 bungkus.“Tidak ada gunanya mengeluh. Semuanya dijalani bahagia. Kami percaya ada banyak orang baik di luar sana yang bakal membantu,” ujar Risna (51), relawan dapur lainnya.Fungsi lebihSekitar pukul 12.00, selepas memasak dan membagikan makanan, Windra tidak lantas beristirahat. Menggunakan sepeda motor, ia melesat menuju sekretariat SKP HAM, sekitar 20 kilometer dari Soulowe. Panas terik dan jalan rusak gempa menemani perjalanannya. Ada pertemuan penting perihal kelanjutan dapur umum pascastatus tanggap darurat bencana Sulteng dicabut Jumat (26/10).“Ingin saya, dapur umum ini terus ada sampai ekonomi dan mental warga benar-benar pulih,” kata dia.Gayung bersambut, harapannya terwujud. Sekretaris Jenderal SKP HAM Nurlaela Lamasitudju mengatakan, operasional dapur umum bakal diperpanjang hingga tiga bulan ke depan. Ada donatur yang bakal membiayai kerelawanan warga.Tak sekedar menyediakan makanan, dapur bakal punya banyak fungsi. Menurut Nurlela, dapur bakal bersuara lebih kencang saat menjembatani beragam kebutuhan masyarakat, mulai pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lain. Mereka akan memetakan kebutuhan apa saja yang dibutuhkan di daerah bencana.“Informasi itu jadi bekal pemerintah atau donatur untuk fokus membantu memulihkan Sulteng,” katanya.Tak hanya fisik, lewat pendataan dari dapur, pemulihan trauma juga bakal disusun lebih terencana. Salah satunya, lewat asupan literasi dari komunitas Nemu Buku dan pendampingan psikis dari Sejenak Hening.Pendiri Nemu Buku Neni Muhidin mengatakan, saat ini warga butuh metode pemulihan trauma yang lebih terstruktur. Bila dijejali ragam metode berbeda, dia khawatir niat baik relawan membawa penyintas bangkit lagi tidak akan tersampaikan.“Kami akan mendata kebutuhan pemulihan trauma. Sudah sebanyak dan sejauh apa yang mereka terima dan butuhkan. Perlakuannya nanti bakal berbeda satu sama lain. Dimulai dari dapur kami ingin bercerita banyak hal pada penyintas, mulai dari informasi potensi hingga cara menyikapinya saat bencana sudah terjadi,” katanya.Di daerah bencana, dapur-dapur bukan hanya sumber asupan penguat raga. Lebih dari itu.*** Dipetik dari H.U. Kompas, 28 Oktober 2018.