Beranda » Laporan » Catatan & Refleksi » Dari Asing Menjadi Akrab

Dari Asing Menjadi Akrab

0 komentar 233 dilihat

Nama saya Alce Prischillia Molidja. Orang-orang terdekat biasa memanggil saya Sissy. Belakangan, sejak bertandang ke Rumah Belajar Poso di Dusun Buyu Katedo, panggilan saya berubah menjadi Sisil, Cicil, atau Sil. Ini panggilan akrab kawan-kawan di Rumah Belajar Poso, dan saya menyukainya.

Saya adalah anak yang lahir dari keluarga Kristen dan tinggal di lingkungan yang juga mayoritas Kristen. Saya tumbuh dengan cerita dan warisan ingatan akan kerusuhan Poso bahwa orang Islam itu jihad, teroris, dan berbahaya. Waktu kecil, kami bahkan dilarang untuk bergaul dengan “orang Islam”.

Kerusuhan yang terjadi di Poso adalah kerusuhan yang dilatarbelakangi konflik agama Islam dan Kristen.  Kerusuhan Poso juga adalah cikal bakal munculnya terorisme di Kabupaten Poso. Bisa dibayangkan bagaimana berjaraknya masyarakat Islam dan Kristen di Poso pada saat itu. Bahkan sampai sekrang pun masih terasa. Banyak tempat, desa, kampung, dan dusun di Poso yang kemudian terstigma karenanya. Salah satunya Dusun Buyu Katedo. Dusun yang ditinggali mayoritas muslim dan salah satu bekas tempat terjadinya pembantaian saat kerusuhan Poso.

Saya pertama kali datang ke Dusun Duyu Katedo pada November 2021. Saat menerima undangan untuk mengikuti Pelatihan HAM di Dusun Buyu Katedo, saya sudah yakin untuk datang, walaupun tidak tahu jelas alasan saya ingin pergi. Buyu Katedo, yang stigmanya kerap saya dengar sebagai sarang teroris, kampung teroris, dan lain sebagainya, akan menjadi penyebab kuat saya tidak akan diberi izin. Menambah pengetahun dan teman itulah yang akhirnya saya pilih menjadi alasan untuk meminta izin pada Mama.

Seperti yang sudah diduga, Mama tidak lantas mengizinkannya begitu saja. Mama begitu protektif dan memberikan banyak pertimbangan kepada saya. Baiknya, Mama memberi saya kesempatan menentukan keputusan saya sendiri. Meskipun tidak secara terang-terangan mengatakan tidak, saya tahu bahwa Mama sebenarnya tidak mengizinkan saya untuk pergi. Drama meminta izin ini pun selesai dengan saya tetap jadi berangkat ke Buyu Katedo membawa banyak bekal wejangan dari Mama. “Jangan lupa berdoa, jangan pergi sendiri-sendiri, jangan pergi ke hutan, jangan sembarangan makan makanan di sana, dan kirim pesan setiap 5 menit!” Agak lucu, ya, Mama bahkan sudah memikirkan kalau-kalau makanan kami akan diracun.

Hari berangkat ke Buyu Katedo sudah tiba. Berbekal google maps dan bertanya pada warung-warung di pinggir jalan, saya pun tiba di Rumah Belajar. Kesan pertama yang saya dapat setelah tiba adalah merasa asing. Saya memandangi semua orang yang ada di sana dan tidak terlihat perempuan yang tidak memakai jilbab selain saya. Saya takut dan merasa sendiri. Beruntung, saya mengenali Arki, seorang mahasiswa Kristen yang berangkat dari tempat yang sama dengan saya. Arki juga mengajak saya berkenalan dengan Kak Maya. Kak Maya tinggal di desa tetangga tidak jauh dari Buyu Katedo. Seakan memiliki pikiran yang sama, Kak Maya langsung mengatakan bahwa dia adalah seorang Nasrani. Saya terkejut karena dia menggunakan hijab. Saya menjadi semakin awas tapi tidak berani menanyakan alasannya memakai hijab. Berbagai pertanyaan muncul dipikiran, “Apa alasan kak maya ‘menyamar’ jadi orang Muslim? Kenapa Kak Maya yang notabene tinggal tidak jauh dari dusun ini juga seperti sangat asing dan takut dengan dusun ini? Dan kenapa papa tua (om) Kak Maya datang menjaga Kak Maya?”

Cukup sulit bagi saya menyampingkan pertanyaan-pertanyaan apakah datang ke Buyu Katedo adalah keputusan yang tepat, apakah saya tidak seharusnya ada di sini, dan apakah mungkin saya bisa diterima di sini. Belum lagi saat mendapati Jalan yang rusak dan sinyal yang kurang bagus, saya semakin negative thinking apakah ini sebuah kesengajaan, agar orang-orang yang datang terjebak?

Segera saya berusaha mengalihkan pikiran-pikiran itu dan berusaha fokus pada materi pelatihan. Sedikit terganggu dengan salah satu peserta pelatihan yang menolak duduk di samping kami yang perempuan apalagi beragama Kristen, ada penolakan yang saya rasakan. Tapi Kak Ella dan Kang Dody (fasilitator kelas pelatihan) terus meyakinkan bahwa ini adalah ruang yang aman dan nyaman. Saya mengagumi mereka. Orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk korban Pelanggaran HAM. Hal itu yang membatu saya menyadari bahwa pikiran saya penuh dengan curiga dan prasangka. Barangkali kawan tadi hanya tidak nyaman duduk di samping perempuan, bukan “Kristennya”. Belakangan juga saya baru tahu bahwa peserta kelas pelatihan ini ternyata belum semuanya mengetahui tentang sejarah konflik poso dan stigma Dusun Buyu Katedo. Itu juga yang menjadi salah satu sebab, mereka biasa saja dan tidak memandang Buyu Katedo seperti pandangan saya.

Kelas pelatihan berlangsung selama kurang lebih lima hari. Di akhir sesi pelatihan, saat refleksi yang dibawakan oleh Kak Ella—Sekjen SKP-HAM Sulteng yang menginisiasi Rumah Belajar—kami duduk melingkar dan saling berpegangan tangan. Kak Ella kemudian mengajak kami berdoa bersama. Seketika saya kaget karena Kak Ella meminta saya yang memimpin doa, sedang mayoritas peserta pelatihan beragama muslim. Saat itu, pertama kalinya sejak datang di Buyu Katedo saya merasa benar-benar diterima.

Acara pelatihan ditutup dengan acara seru-seruan Malam Sastra Buyu Katedo. Acara ini dihadiri semua warga Dusun Buyu Katedo, dan peserta pelatihan. Di acara ini saya baru dapat bercengkrama langsung dengan warga di dusun itu, bermain dengan anak-anak, melihat gotong royong bapak-bapak saat membantu mendirikan tenda, dan ibu-ibu memasak makanan untuk kami makan bersama. Sungguh jauh dari ekspektasi saya. Warga dusun itu ternyata sangat ramah. Mama Nur bahkan menangis saat bercerita bagaimana mereka (ibu-ibu) berusaha menyediakan makanan enak bagi kami (peserta pelatihan) setiap harinya. Dan kini kegiatan itu akan berakhir.

Kedatangan saya di Buyu Katedo November 2021 itu mengubah total pandangan saya akan Buyu Katedo sebelum saya datang. Semua ketakutan Mama tidak terbukti. Kami bahkan diajak berjalan-jalan menyusuri jalan setapak Dusun Buyu Katedo yang masih dikelilingi kebun dan hutan. Hal yang tidak akan dilakukan dan dihindari orang-orang dari tempat tinggalku jika datang ke Buyu Katedo atau tempat lain yang terstigma di Poso.

Saya kembali dan menceritakan pengalaman ini kepada Mama, teman-teman, dan orang-orang skeptis yang melarang saya ke buyu katedo sebelumnya. Bahwa orang-orang di Buyu Katedo tidak seperti yang selama ini kita bayangkan. Terlepas dari peristiwa kelam yang terjadi di dusun itu, pembantaian dari rentetan peristiwa konflik Poso, keramahan dan kerukunan di Buyu Katedo masih ada dan terjaga. Itu juga yang kemudian membuat saya, kami, menyadari sesuatu bahwa mereka, orang-orang yang tinggal di sini hanyalah korban.

Kali-kali berikutnya jika ingin pergi ke Buyu Katedo, tidak lagi memerlukan drama perizinan dari Mama. Mama dengan percaya mengizinkan saya untuk pergi (Wah, sepertinya saya berhasil mengubah pandangan mama terhadap dusun ini. Hehe). Saya menjadi sering datang ke Dusun Buyu Katedo karena Rumah Belajar kerap kali melakukan kegiatan-kegiatan seperti pelatihan, festival, dan yang terakhir ada KemaHAM. Tidak ada kegiatan yang tidak berkesan, semuanya membekas dalam diri saya. Rasa haru seperti saat bertemu Om Harun, narasumber dalam kelas pelatihan dokumentasi, korban kerusuhan Poso yang sebelah bagian tubuhnya tidak lagi dapat berfungsi normal, rasa kekeluargaan setiap saat, baik antara kawan-kawan di rumah belajar, fasilitator maupun warga dusun, serta rasa berterima dan diterima.. Apalagi saat malam penutupan pelatihan ketika listrik padam, tetapi semua orang tetap bernyanyi dengan kompak, sambil melambai-lambaikan tangan yang memegang ponsel dengan flash light yang menyala lagi bersahut-sahutan dengan nyaringnya suara jangkrik.

Lewat tulisan ini, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih yang begitu besar untuk kak Ella, Kang Daus, Kang Dody, Kang Godot, kakak-kakak dan kawan-kawan yang saya temui di Rumah Belajar, termasuk kawan-kawan relawan SKP-HAM Sulteng, Rumah Belajar, Sejenak Hening, AJAR, Kontras Sulawesi, dan lain-lain yang tidak muat untuk saya sebutkan satu-satu. SKP-HAM Sulteng, Rumah Belajar Poso, dan Dusun Buyu Katedo bukan hanya sekedar tempat yang pernah saya kunjungi, tetapi sebuah rumah yang menerima saya dan membantu saya berterima dengan diri sendiri. Sekarang, Buyu Katedo dan Rumah Belajar adalah tempat yang akan selalu saya rindukan.***

Tinggalkan Komentar