82Tahun 2024 ditandai dengan berlangsungnya pemilihan umum (pemilu) di Indonesia. Rakyat Indonesia telah memilih wakil-wakil mereka di DPR, memilih presiden secara langsung, dan diteruskan dengan memilih kepala daerah secara serentak di wilayahnya masing-masing. Dengan jumlah penduduknya yang lebih dari 280 juta jiwa, Indonesia selalu disebut-sebut sebagai negara demokratis terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat.Pemerintah menyatakan, tidak ada hambatan berarti dalam proses pelaksanaan pemilu 2024. Tingkat partisasi publiknya terbilang tinggi: di atas 81%. Hasilnya pun sudah didapatkan. Indonesia kini memiliki presiden baru. Sulawesi Tengah pun memiliki gubernur baru.Namun demikian, ada sejumlah hal yang kiranya patut dicermati dan dicatat sekaitan dengan proses dan jalannya demokrasi di Indonesia saat ini. Sebagai organisasi yang bekerja di ranah hak asasi manusia, SKP-HAM tentu saja menempatkan demokrasi pada posisi yang sangat penting.Pertama, proses pemilu itu sendiri. Di Indonesia, pemilu senantiasa disebut sebagai “pesta demokrasi”. Asmara Nababan, seorang aktivis HAM yang sampai akhir hayatnya tak lelah memperjuangkan HAM dan demokrasi, menyebut bahwasannya jargon “pesta demokrasi” yang didengungkan semasa rezim Orde Baru itu justru untuk mengaburkan makna dari pemilu itu sendiri. Pemilu sejatinya bukanlah “pesta demokrasi”, melainkan “hari penghakiman bagi para politisi”. Dalam pemilu, rakyat diundang bukan untuk merayakan pesta, namun untuk menjadi hakim bagi para politisi yang akan menentukan jalannya kehidupan mereka dalam berbangsa dan bernegara, sekurang-kurangnya dalam lima tahun mendatang.Agar rakyat bisa menjadi hakim, mereka harus memiliki kesadaran politik yang kuat serta pengetahuan dan keterampilan politik yang memadai. Hal ini belum terjadi. Rakyat masih hanya diposisikan sebagai alat politik dan dicatat sebagai statistik untuk menjustifikasi suara terbanyak.Kedua, ini masih sekaitan dengan yang pertama, kualitas demokrasi di Indonesia tidak kunjung membaik. Kondisi yang terjadi justru sebaliknya: indeks demokrasi Indonesia terus mengalami penurunan. Freedom House, lembaga di Amerika Serikat yang menaruh perhatian pada isu demokrasi dan HAM, mencatatkan nilai indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 pada tahun 2019 menjadi 57 pada tahun 2024. Berbagai prasyarat yang dibutuhkan untuk memperkuat demokrasi seperti akuntabilitas, pertanggungjawaban negara, dan penegakkan hukum mengalami ketersedatan. Demikian pula halnya dengan pemberantasan korupsi dan ketundukkan militer terhadap supremasi sipil yang mulai goyah semenjak rezim Jokowi.Situasi ini tentu saja sangat merisaukan. Bagaimanapun, HAM dan demokrasi adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pada konteks ini, pernyataan Asmara Nababan patut untuk kembali dikedepankan bahwa “tidak mungkin ada pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia tanpa ada demokrasi yang kuat. Selama kualitas demokrasi buruk, selama itu pula penyelesaian pelanggaran HAM akan sulit untuk bisa diselesaikan dan akan bisa memutus lingkar impunitas.”Memasuki usianya yang ke-20 ini, SKP-HAM Sulawesi Tengah sepertinya harus mulai memikirkan dengan serius untuk turut menguatkan kualitas demokrasi, sekurang-kurangnya di komunitas dan wilayah dampingannya. Ada keyakinan, menguatkan kualitas demokrasi akan sekaligus menguatkan peluang agar hak-hak asasi manusia bisa sepenuhnya dihormati dan ditegakkan.Berkaca pada konteks Indonesia hari ini, jalan di depan untuk terus memperjuangkan pemajuan, perlindungan, dan penegakkan HAM sepertinya akan mendapatkan berbagai tantangan. Sangat mungkin, jalannya akan semakin terjal dan berliku.***