Beranda » Dampingan » Penyintas Bencana » Jejak Langkah SKP-HAM Menuju Pasigala yang Tangguh

Jejak Langkah SKP-HAM Menuju Pasigala yang Tangguh

0 komentar 41 dilihat

Tidak bisa dipungkiri, peran organisasi kemanusiaan sangat berpengaruh penting dalam berbagai fase kehidupan pasca bencana alam di Kota Palu, Sigi dan Donggala yang terjadi pada 28 September 2018 lalu. Ada banyak organisasi kemanusiaan yang secara sukarela turun tangan dalam menangani berbagai permasalahan yang masih terus mengintai para korban, mulai dari masa darurat, pemulihan, bahkan hingga masa rekonstruksi yang saat ini dijalankan. Tidak hanya dari luar kota dan luar negeri, sejumlah organisasi kemanusiaan lokal pun masih turut terlibat dalam membantu dan mengawal jalannya kehidupan para korban bencana.

Di tengah kehidupan warga lokal yang mulai normal, mereka memilih untuk tetap mengabdi dalam misi kemanusiaan. Solidaritas Korban Pelanggaran HAM atau yang dikenal dengan sebutan SKP-HAM merupakan salah satu organisasi kemanusiaan yang hingga kini masih terus melakukan berbagai upaya dan tugas kemanusiaan untuk membantu para korban bencana yang berada di Palu, Sigi dan Donggala.

SKP-HAM bukan organisasi baru di kalangan masyarakat lokal. Berdiri sejak 14 tahun silam, SKP-HAM dikenal dengan upaya-upaya konkrit nya untuk melakukan berbagai pendampingan kepada korban kemanusiaan yang ada di Sulawesi Tengah. Nurlaela A.K. Lamasitudju merupakan sosok penting dibalik berdirinya SKP-HAM. Hingga kini, ia terus konsisten melakukan berbagai langkah maju untuk mendampingi para warga yang kehilangan haknya sebagai manusia.

Ella, begitu ia disapa, menjelaskan bahwa terbentuknya organisasi ini bermula dari adanya kasus kerusuhan di Kabupaten Poso yang terjadi belasan tahun lalu. SKP-HAM hadir sebagai ruang bagi korban kerusuhan untuk saling berjejaring dan menguatkan satu sama lain.

“SKP-HAM sudah 14 tahun berdiri. Dan kita sebenarnya terbentuk karena bencana, tetapi bencana sosial yaitu Kerusuhan Poso beberapa tahun lalu. Organisasi ini dibentuk oleh para korban dan didampingi oleh para LSM. Para korban kemudian berkumpul, saling menguatkan dan berjuang untuk pulih kembali,” ujar Ella.

Beberapa tahun berlalu, SKP-HAM masih aktif mendampingi para korban kerusuhan dengan berbagai langkah yang maju. Namun beberapa waktu belakangan, organisasi ini mulai lebih menseriusi korban peristiwa Gerakan 30 September yang terjadi pada 1965 hingga 1966. Ella mengatakan, mereka kini menseriusi korban peristiwa tersebut karena saat ini kondisi korban telah berusia renta, sakit-sakitan, terstigma dan didiskriminasi. Jadi, korban peristiwa tersebut terus didampingi, diberikan penguatan, dan terus dilakukan upaya rekonsiliasi di berbagai tingkatan.

“Jadi sesama korban membuat rekonsiliasi di tingkat keluarga, karena bagaimana caranya keluarga harus menerima keadaan tersebut. Namun sebelum ke tingkat keluarga, kita mulai dari tingkat korban, karena dia harus menerima bahwa dirinya adalah korban. Karena secara psikologi ada pergolakan batin karena dirinya terstigma. Dari situ kita belajar menganalisis apa yang dia alami,” jelas beliau.

Dua tahun belakangan, SKP-HAM juga kemudian bersinergi dengan kelompok rentan lainnya seperti kaum disabilitas, ODHA, hingga kekerasan terhadap perempuan. Beberapa hari setelah bencana terjadi, SKP-HAM bersama dua komunitas lainnya yaitu Perpustakaan Mini Nemu Buku (komunitas di bidang literasi) dan Sejenakhening.com (komunitas di bidang psikologi) membuat posko kemanusiaan bernama Pasigala Tangguh.

Pasigala Tangguh merupakan kelompok kerja masyarakat sipil yang merespon penanganan bencana yang terjadi di Kota Palu, Sigi dan Donggala di bidang data dan informasi. Pasigala Tangguh juga menggalang dukungan untuk membangun dapur umum dan kegiatan pemulihan psikososial pasca bencana.

“Dari yang hanya mengumpulkan informasi dan menyebarkan ke masyarakat, kemudian kita membuat dapur umum dan membagikan logistik. Kita juga membuat pemulihan psikososial untuk anak-anak secara spesifik memakai materi pedagogi,” papar Ella.

Program dapur umum telah berakhir seiring mulai pulihnya aktivitas perekonomian di masyarakat. Namun Pasigala Tangguh memiliki program jangka panjang dalam menghadapi berbagai fase pasca bencana ke depannya.

Dengan tetap berfokus pada data dan informasi, Pasigala Tangguh akan belajar dari bencana ini untuk mengumpulkan segala data dan informasi yang ada. Pasigala Tangguh akan melihat, memantau, serta terjun langsung ke berbagai daerah untuk melihat apakah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah setelah bencana ini telah terimplementasikan di desa-desa dengan baik atau tidak. Untuk itu, Pasigala Tangguh memantau sepuluh desa dan kelurahan yang tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala.

Ella menjelaskan, kesepuluh desa dan kelurahan yang dimaksud masing-masing tiga kelurahan di Kota Palu yakni Pantoloan Boya, Panau, dan Kayumalue Ngapa. Kemudian untuk wilayah Kabupaten Donggala yaitu Desa Boneoge, Desa Wani 1, dan Desa Labuan Panimba. Sedangkan untuk Kabupaten Sigi ada empat desa yaitu Desa Soulowe, Karawana, Potoya dan Langaleso. Keadaan terkini sepuluh daerah ini dipantau setiap harinya dan secara langsung oleh relawan Pasigala Tangguh. Rapat-rapat cluster di sepuluh daerah tersebut juga mereka pantau untuk memantau kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

“Kami mem-print out semua dokumen yang keluar, mulai dari Perpres, Perda dan rencana-rencana atau riset dari para peneliti. Kami ingin melihat apakah kebijakan yang diambil dapat menjawab keseluruhan permasalahan yang ada saat ini,” lanjutnya.

Selain pemantauan di desa-desa tersebut, Pasigala Tangguh juga melakukan seri-seri diskusi dengan tajuk “Forum Warga Membaca Bencana”. Diskusi ini dilakukan sejak bulan November dan masih berlangsung hingga saat ini.

Menurut Ella, diskusi ini sangat penting dilakukan untuk mengupas tuntas segala permasalahan yang terjadi setelah bencana alam yang tentunya dikupas dari berbagai sudut pandang yang berbeda.

Sejauh ini Pasigala Tangguh telah melangsungkan berbagai seri diskusi dengan tema pembahasan dan narasumber yang berbeda pula. Beberapa seri diskusi yang pernah dilaksanakan adalah Sejarah Kebencanaan Pasigala dengan menghadirkan narasumber dari Komunitas Historia Sulawesi Tengah dan para penutur bencana. Kemudian juga mengenai pandangan akademisi terhadap penanggulangan bencana Pasigala, hingga pandangan kelompok adat dan kelompok agama terhadap penanggulangan bencana.

Setelah melaksanakan sembilan seri diskusi, Pasigala Tangguh akan melaksanakan tiga seri diskusi lagi dan akan membahas penanggulangan bencana dari perspektif media hingga pemerintah. Pemerintah akan diundang sebagai narasumber pada seri diskusi terakhir.

“Pemerintah sengaja dikhususkan di seri terakhir, karena pada seri diskusi terakhir kita akan memperlihatkan kepada pemerintah bahwa inilah kesimpulan dari seluruh diskusi sebelumnya dan diharapkan dapat kita diskusikan bersama agar pemerintah dapat melakukan pengambilan kebijakan dengan baik,” jelasnya.

Ella berpandangan, dari sembilan seri diskusi yang telah berlangsung hingga saat ini, masyarakat dapat melihat bahwa komunikasi tidak berjalan dengan baik, baik di tingkat organisasi hingga tingkat pemerintah.

“Belum lagi dengan sipil dan pemerintah. Ini masih menjadi urusan sehingga kebijakan yang keluar saling tabrak. Misalnya rencana induk yang secara prinsip mengakomodir prinsip kami, tetapi prinsip itu tidak dipraktekkan. Ada dicantumkan kata partisipasif, akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak partisipatif,” lanjut Ella.

Pasigala Tangguh juga aktif dalam melakukan penyajian data dan informasi mengenai segala aktivitas yang mereka lakukan hingga saat ini. Mulai dari pelaksanaan program, berita dan cerita tentang aktivitas kerja mereka sehari-hari, hingga mengenai literasi bencana. Semuanya dapat diakses melalui web dan akun media sosial milik Pasigala Tangguh.***

Tinggalkan Komentar