Komunitas Dampingan

Kami melakukan pendampingan, penggorganisasian, dan pemberdayaan secara langsung di tingkat akar rumput, serta merespon dan mengadvokasi berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia dan tindak kekerasan yang dialami oleh warga dan komunitas. Komunitas dampingan kami tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi-Moutong, dan Kabupaten Poso.

Penyintas pelanggaran HAM berat Peristiwa 1965/1966 di Sulawesi Tengah adalah komunitas yang didampingi dari sejak SKP-HAM Sulteng berdiri pada 2004. Komunitas penyintas Peristiwwa 1965/1966 yang didampingi SKP-HAM terutama yang berada di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Parigi-Moutong. Sejauh ini, lebih dari 1.200 penyintas Peristiwa 1965/1966 di Sulawesi Tengah yang berhasil didokumentasikan.

SKP-HAM Sulteng berhasil mendorong Wali Kota Palu untuk mengakui dan meminta maaf secara resmi kepada para korban Peristiwa 1965/1966 pada 2012, dan terlibat dalam perumusan kebijakan daerah terkait pemulihan hak bagi para korban. SKP-HAM Sulteng pun menjadi pemain kunci dalam proses dan dialog di tingkat nasional untuk mencari terobosan dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat. 

Pada 11 Januari 2023, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo secara terbuka menyatakan penyesalan dan pengakuan atas terjadinya 12 pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, termasuk Peristiwa 1965/1966. Menyusul penyesalan dan pengakuan tersebut, Pemerintah Indonesia memulai program pemulihan hak bagi para korban pelanggaran HAM lewat Program Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Program PPHAM).

Penyintas konflik Poso adalah komunitas paling awal yang didampingi oleh SKP-HAM Sulawesi Tengah. Kelahiran SKP-HAM Sulawesi Tengah sendiri tidak terlepas dari konflik Poso. Penyintas konflik Poso yang didampingi oleh SKP-HAM Sulawesi Tengah terutama yang berada di wilayah Kecamatan Lage dan sekitarnya.

Sampai saat ini, hak-hak korban konflik Poso masih belum sepenuhnya dipulihkan. Para korban dan keluarganya masih menuntut negara untuk bisa memberikan hak atas pemulihan, hak atas kebenaran, dan hak atas keadilan atas peristiwa yang menimpa mereka dan keluarganya.

Persoalan Poso pascakonflik justru menjadi semakin pelik. Konflik Poso kemudian bertransformasi menjadi “terorisme” dan Poso ditetapkan sebagai daerah operasi militer. Berbagai peristiwa kekerasan kembali terjadi, baik yang terkategori sebagai tindak pidana terorisme maupun kekerasan yang dilakukan dan melibatkan aparat keamanan.

SKP-HAM Sulawesi Tengah pun mendampingi para korban dari berbagai peristiwa kekerasan yang muncul pascakonflik Poso tersebut. Para korban yang didampingi SKP-HAM di antaranya adalah korban tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata (ekstremis) serta korban kekerasan berbasis gender dan korban ekploitasi seksual yang dilakukan dan melibatkan aparat keamanan.

Sejak 2016, SKP-HAM Sulteng menginisiasi pembentukan Molibu Inklusi, jaringan organisasi masyarakat sipil di Kota Palu, dan pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Inklusif (Musrenbang Inklusif) di Kota Palu. Musrembang Inklusif kini telah menjadi agenda rutin Pemerintah Kota Palu yang diselenggarakan setiap tahun.

Lebih dari 10 lembaga dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Molibu Inklusi. Kelompok rentan dalam Molibu Inklusi meliputi korban Peristiwa 1965/1966, penyandang disabilitas, penyandang HIV/AIDS, transgender, perempuan dan anak korban kekerasan dan tindak pidana, masyarakat miskin kota (pemulung, gelandangan, pengemis, pengamen), seniman jalanan, petani garam, nelayan Teluk Palu, penyintas bencana, dan pegiat literasi.

Pendampingan SKP-HAM terhadap kelompok-kelompok rentan tersebut lebih difokuskan untuk memberikan peningkatan kapasitas bagi kelompok rentan yang membutuhkan, terutama dalam penyusunan rencana program yang akan diusulkan melalui Musrembang Inklusif Kota Palu.

Penyintas bencana mulai didampingi oleh SKP-HAM Sulteng pascabencana gempa bumi yang disusul dengan tsunami dan liquefaksi di Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018. Selain mendampingi warga terdampak bencana yang berhak atas hunian tetap, SKP-HAM Sulteng mendampingi sejumlah desa yang berada di Kabupaten Sigi untuk menguatkan kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas dan ketahanan terhadap perubahan iklim.

Secara khusus, SKP-HAM Sulteng mendampingi para perempuan penyintas bencana. Lewat berbagai penambahan kapasitas, SKP-HAM Sulteng mendorong kelompok perempuan untuk membangun dan menjalankan wirausaha berdasarkan kapasitas dan kemampuan yang mereka miliki, serta memanfaatkan potensi dan sumber daya lokal yang tersedia.

Ada dua kelompok usaha perempuan yang telah terbentuk dan didampingi SKP-HAM, yaitu Mombine Padagi dan Bangkele Meumba. Keduanya berada di Kabupaten Sigi. Mombine Padagi adalah kelompok perempuan yang berasal dari Desa Karawana, Desa Soulowe, Desa Potoya, dan Desa Sidera; sedangkan Bangkele Meumba adalah kelompok berempuan yang berasal dari Desa Namo, Kecamatan Kulawi.

Untuk komunitas terdampak perubahan iklim, SKP-HAM mendampingi para petani yang berada di sekitar wilayah kerja Rumah Belajar Warga. Dalam beberapa tahun terakhir, hasil pertanian dan perkebunan di wilayah dampingan rumah belajar mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena perubahan cuaca yang sudah semakin tidak menentu.

SKP-HAM Sulteng berusaha untuk merespon, mendampingi, dan mengadvokasi berbagai kasus tindak kekerasan yang terjadi dan dialami oleh warga dan komunitas. SKP-HAM Sulteng membuka mekanisme laporan dan pengaduan dari para korban yang mengalami tindak kekerasan, baik yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara. Sebagian besar laporan dan pengaduan kasus yang diterima SKP-HAM adalah yang terkait dengan kasus kekerasan berbasis gender, kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak, dan kekerasan yang dilakukan oleh aparatus negara.

Secara organisasional, SKP-HAM mengambil peran sebagai lembaga pendamping korban untuk mengadvokasi hak-hak korban dan memberikan dukungan, baik bantuan hukum, layanan kesehatan, maupun layanan psikososial. Dalam proses pendampingan dan penanganan kasus-kasus tersebut, SKP-HAM Sulawesi Tengah bekerja sama dengan lembaga-lembaga penyedia layanan, baik yang disediakan pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil.

Dengan mempertimbangkan konteks dan kebutuhan kasus, SKP-HAM akan mengadvokasi penanganan dan pemenuhan hak-hak korban dengan melibatkan berbagai lembaga negara, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan  (Komnas Perempuan), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Rumah Belajar Warga didedikasikan sebagai ruang bersama dan tempat belajar bagi warga, terutama belajar tentang hak-hak warga. Rumah Belajar Warga mengelola program dan aktivitasnya bersama warga dan senantiasa mengutamakan prinsip partisipatif dan inklusif. Rumah Belajar Warga yang menjadi dampingan SKP-HAM berada di empat tempat di Sulawesi Tengah: (1) Rumah Belajar Poso, di Kabupaten Poso; (2) Rumah Belajar Sisere, di Kabupaten Donggala; (3) Rumah Belajar Dolo-Biromaru, di Kabupaten Sigi; dan (4) Rumah Belajar Kulawi, di Kabupaten Sigi.

Rumah Belajar Warga dikelola oleh para relawan yang secara berkelanjutan dikapasitasi sebagai para pembela HAM. Sampai saat ini, ada lebih dari 40 relawan yang mengelola rumah belajar di empat wilayah. Sebagian besar relawan itu adalah anak-anak muda yang berasal dari komunitas di lokasi rumah belajar berada.

Secara bertahap, para pembela HAM muda mulai memainkan peranan penting dalam pengembangan kerja pengorganisasian dan advokasi SKP-HAM. Mereka berada di garda terdepan untuk mempromosikan hak asasi manusia serta memberikan bantuan kepada korban, penyintas, dan masyarakat umum sesuai dengan konteks dan kebutuhan di komunitas mereka masing-masing.