Beranda » Aktivitas » Kesiapsiagaan Bencana » Tanggap Darurat Bencana » Nasi Bungkus untuk Warga Terdampak Bencana

Cerita di Balik Dapur Umum

Nasi Bungkus untuk Warga Terdampak Bencana

0 komentar 27 dilihat

Tidak ada yang praktis, semuanya membutuhkan proses untuk menjadi sesuatu. Mungkin hal ini juga yang kami lalui di dapur umum: proses memasak sampai menjadi sebungkus nasi juga harus melalui banyak hal. Mulai dari berbelanja bahan-bahan dapur, proses memasaknya itu sendiri, sampai dengan nasi bungkus itu dibagikan.

Sebelumnya saya akan perkenalkan terlebih dahulu, seseorang yang menjadi koordinator di dapur umum: Sisilia Laborahima, namanya. Kami biasa memanggilnya Kak Sisi. Kak Sisi inilah yang mengepalai dapur umum kami. Dia pula yang mengatur segala hal tentang dapur: mulai dari belanja, memasak, dan menentukan menu yang akan dibuat.

Belanja selalu dilakukan Kak Sisi sore hari, setelah kami selesai membugkus nasi dan rehat sejenak. Beberapa dari kami biasanya akan ikut ke pasar untuk menemaninya berbelanja. Seseorang yang selalu menenami Kak Sisi belanja adalah Geovaldi, yang akrab dipanggil Geo. Bisa dikatakan, Geo adalah tangan kanan yang selalu mengantar Kak Sisi kemana saja.

Saya juga biasa menemani Kak Sisi berbelanja di pasar, jadi sedikit banyak saya tahu harga-harga sayur atau bumbu di pasar. Pascabencana banyak bahan dapur yang mengalami kenaikan harga, seperti tahu dan tempe, misalnya. Tahu yang tadinya Rp 500,00, naik menjadi Rp 2.000,00 per biji. Begitu juga dengan tempe. Harga awalnya Rp 10.000,00 satu balak, kini naik menjadi Rp 15.000,00.

Meskipun ada beberapa harga yang naik, tapi ada juga bahan-bahan yang justru mengalami penurunan. Ayam potong, misalnya, pada hari biasa satu ekor ayam harganya mencapai Rp 35.000,00 sampai Rp 50.000,00. Pascabencana, harga ayam justru mengalami penurunan drastis sampai Rp 10.000,00 per ekor.

Saya bersama Sisilia Laborahima, koordinator dapur umum yang dikelola SKP-HAM Sulteng saat berbelanja ke pasar untuk kebutuhan dapur umum. Sebulan pascabencana, kehidupan pasar di Kota Palu sudah mulai kembali menggeliat.

Ikan juga mengalami kenaikan harga, karena kebanyakan pedagang mengambil ikan dari daerah Poso, Makassar, dan beberapa daerah lain bukan dari Palu. Kebanyakan orang masih takut untuk makan ikan, karena banyak korban tsunami yang belum ditemukan. Kebanyakan warga berpikiran bahwa ikan di laut memakan bangkai mayat yang terbawa arus, meskipun telah diberi penjelasan jika ikan yang dijual berasal dari daerah luar kota Palu.

Setelah belanja sayur, bumbu dan lauk yang akan dimasak selesai, kami beralih membeli kayu bakar. Tiga ikat kayu bakar dihargai Rp 10.000,00. Biasanya kami membeli dalam jumlah banyak sekaligus, karena banyak juga yang harus dimasak.

Sepulangnya dari pasar, kami biasa duduk-duduk santai atau ada juga yang membersihkan diri dan lain hal. Selepas isya, kami baru mulai memotong atau mengupas sayuran yang akan dimasak besoknya berdasarkan instruksi dari Kak Sisi.

Selalu ada tawa dan canda yang tercipta di antara kesibukan kami memotong sayur-sayuran. Cerita-cerita konyol biasa dilontarkan oleh teman-teman relawan. Salah seorang relawan yang selalu mengundang tawa bila bercerita adalah Amin. Amin sangat unik. Setiap kali ia bercerita, atau bahkan mengatakan hal kecil, kami pasti akan tertawa terbahak-bahak. Di antara yang lain, Amin bisa dikategorikan yang paling rajin dari kami.

Paginya, kami bangun paling lambat pukul 06:00. Saat bangun kami langsung memasak nasi. Sementara untuk sayur dan lauk, selalu menjadi tanggung jawab Kak Sisi, kami hanya bertugas membantu apa yang dibutuhkan.

Setelah semuanya selesai, kami mulai membungkus nasi sesuai dengan jumlah relawan dan pengungsi, yang biasa datang untuk mengambil nasi bungkus. Biasanya kami mencatat nomor kontak dan alamat siapa saja yang datang, agar selanjutnya kami lebih gampang mengabarkan kalau nasi sudah siap, atau kadang ada alasan mendadak yang mengharuskan dapur tutup sementara.

Setiap hari, tidak kurang lebih 600 bungkus nasi yang kami buat. Kadang juga bisa bertambah, tergantung dari konfirmasi yang kami dapatkan. Para relawan yang biasa mengambil nasi bungkus adalah relawan dari Gema-9, relawan dari Makassar, relawan Pakabelo, ada juga beberapa relawan yang berposko di Jl. Thamrin, Jl. Kancil, dan beberapa relawan lain.

Beberapa pengungsi yang biasa datang ke dapur umum kami, ada yang dari Palupi-Balaroa, Jl. Kancil, dan ada juga yang dari Jl. Batu Bata Indah. Ada juga pengungsi dari Yayasan Al-Khaut’sar yang semuanya merupakan lansia, dan akan menjadi fokus dapur umum selanjutnya.***

Tinggalkan Komentar