Beranda » Laporan » Rekomendasi Kebijakan » Pemenuhan HAM bagi Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu

Rekomendasi Kebijakan

Pemenuhan HAM bagi Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu

0 komentar 100 dilihat

Konteks Peristiwa 1965/1966 yang teradi di Kota Palu memiliki karakteristik yang boleh disebut berbeda dengan Peristiwa 1965/1966 yang juga terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Tidak sebagaimana yang terjadi di Sumatera, Jawa, Bali, dan sejumlah wilayah Sulawesi lainnya, Kota Palu terhindar dari adanya “banjir darah”. Ketika Peristiwa 1965/1966 terjadi, situasi dan kondisi di Kota Palu relatif cukup terkendali. Di samping kasus penghilangan paksa terhadap empat orang, jatuhnya korban jiwa relatif sedikit.

Faktor paling kuat yang berhasil menjaga Kota Palu dari adanya “banjir darah” pada peristiwa ini adalah karena masyarakat Suku Kaili, yang menjadi mayoritas warga Kota Palu, memiliki hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang sangat erat dan kuat. Ketika Peristiwa 1965/1966 terjadi di Kota Palu, masyarakat Suku Kaili rupanya tetap menjunjung tinggi filosofi belontana data nosampesuvu (atau posampesuvu, rasa kekeluargaan), yang dalam praktiknya hal itu berwujud saling menjaga dan melindungi satu sama lain.

Filosofi itu pula yang secara langsung atau tidak kemudian bisa membukakan jalan yang lebih lapang ketika ada niat dan keinginan untuk mulai melakukan rekonsiliasi di tingkat masyarakat. Di tengah adanya stigmatisasi dan diskriminasi sistematis terhadap para korban, benih-benih rekonsiliasi sesungguhnya sudah mulai tersemai. Benih-benih itu kian tumbuh di era reformasi, ketika berbagai hal yang terkait Peristiwa 1965/1966 mulai tidak lagi dianggap tabu dan sering dibicarakan. Pengakuan Sersan Bantam—salah seorang tentara yang turut membawa tiga orang tanahan dari Penjara Donggala yang kemudian dihilangkan secara paksa—yang, dengan kesadaran diri dan rasa kemanusiannya, memberikan informasi terperinci mengenai proses penghilangan paksa terhadap ketiga tahanan yang dibawanya kepada keluarga korban, menjadi satu tonggak penting bagi bergulirnya proses rekonsiliasi di Kota Palu. Sekurang-kurangnya, pengakuan dari Sersan Bantam itu telah membawa secercah titik terang kebenaran bagi keluarga korban.

Tonggak penting lainnya dalam proses rekonsiliasi di Kota Palu ini adalah disampaikannya permintaan maaf dari Walikota Palu, H. Rusdy Mastura, kepada warga Kota Palu yang menjadi korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 pada 24 Maret 2012. Permintaan maaf Walikota Palu itu merupakan langkah terobosan berani yang patut diapresiasi dan dihargai. Ketika negara, dalam hal ini pemerintah pusat di Jakarta, masih gamang dalam menyikapi Peristiwa 1965/1966, Walikota Palu justru mengakui akan adanya kekeliruan yang dilakukan oleh bangsa dan negara ini di masa lalu.

Permintaan maaf Walikota Palu yang ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Walikota (Perwali) Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Daerah yang memandatkan adanya pemenuhan HAM bagi para korban pelanggaran HAM, membuka babak baru bagi para korban pelanggaran HAM di Kota Palu. Ini bisa menjadi pintu untuk menembus kebuntuan dan kebekuan dalam upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Ada harapan dan sekaligus niat, pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama kini akan mencari solusi terbaik untuk memutus ketidakadilan dan diskriminasi yang selama ini dialami oleh para korban.

Merujuk pada mandat dari Peraturan Walikota Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang Rancangan Hak Asasi Manusia Daerah, Pemerintah Daerah Kota Palu—yang diwakili Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu—dengan Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulawesi Tengah sebagai bagian dari masyarakat sipil melakukan penelitian dan verifikasi terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu. Di dalam pelaksanaannya, proses penelitian dan verifikasi ini dibantu pula oleh Norwegian Human Righs Fund (NHRF) dan Asia Justice and Righs (AJAR).

Tujuan dasar dari penelitian dan verifikasi ini adalah untuk mengetahui secara pasti warga Kota Palu yang menjadi korban Pelanggaran HAM terkait dengan Peristiwa 1965/1966. Data terverifikasi yang berkenaan dengan korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 menjadi penting dan diperlukan karena akan menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah Kota Palu untuk merancang dan melaksanakan program-program pemenuhan HAM bagi para korban pelanggaran HAM sebagaimana yang dimandatkan oleh Perwali No.25/2013.

Di samping itu, penelitian dan verifikasi ini pun sekaligus ingin menggali keterkaitan antara proses rekonsiliasi dan, harapan lebih lanjutnya, penyelesaian kasus pelanggaran HAM terkait Peristiwa 1965/1966 yang kini tengah diupayakan di Kota Palu dengan konteks historis dan sosio-kultural masyarakat Kota Palu. Oleh karena itu, penelitian dan verifikasi ini bertolak dari dua perspektif. Selain bertolak dari perspektif hak asasi manusia, perspektif historis dan sosio-kultural akan dijadikan pula sebagai pijakan kerangka berpikirnya.

Penelitian dan verifikasi ini berlangsung dari September 2014 sampai dengan Maret 2015. Untuk data kuantitatif, pengumpulan dan verifikasi data dilakukan oleh 18 enumerator yang disebar ke delapan kecamatan di Kota Palu. Sedangkan untuk data kualitatif, sebagian besar informasi dari para korban yang kemudian digunakan dan diolah di dalam penelitian ini bersumber dari database hasil pendokumentasian SKP-HAM Sulteng, terutama yang berupa wawancara mendalam, yang dilakukan dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2012.

Rekomendasi

Berangkat dari penelitian dan verifikasi tersebut, berikut adalah sejumlah rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Kota Palu :

  1. Pemerintah Daerah Kota Palu harus menuangkan permintaan maaf Walikota terhadap para korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 secara tertulis yang bisa dijadikan sebagai dokumen resmi.
  2. Pemerintah Daerah Kota Palu harus segera menindaklanjuti “Surat Keterangan Korban” dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia yang diberikan kepada para korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/ 1966 di Kota Palu sebagai bagian untuk memenuhi harapan terbesar korban yang menghendaki rehabilitasi nama baik. Upaya tindak lanjut yang dimaksud adalah dengan mengeluarkan “Surat Keterangan Khusus” yang secara resmi diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kota Palu. Dengan surat keterangan khusus tersebut para korban setidaknya akan mendapatkan “pengakuan awal” yang terlegitimasi dari lembaga negara yang berwenang dan Pemerintah Daerah sebelum Negara Republik Indonesia benar-benar bisa memberikan rehabilitasi nama baik kepada mereka.
  3. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk terus melakukan berbagai terobosan di ranah penegakkan hak asasi manusia, dan senantiasa menjadikan hak asasi manusia sebagai perspektif serta dasar pijakan dalam merumuskan berbagai kebijakan dan perencanaan pembangunan daerah.
  4. Pemerintah Daerah Kota Palu harus segera mengimplementasikan Perwali Nomor 25 Tahun 2013 untuk memberikan program pemenuhan hak asasi manusia kepada pada korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 sebagaimana yang dimandatkan dengan mengacu pada data korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 yang telah terverifikasi.
    • Merumuskan dan merancang program pemenuhan HAM bagi para korban secara lebih terencana, terintegrasi, dan saksama agar setiap SKPD, teruta-ma dinas-dinas dan lembaga-lembaga yang menjadi penyedia layanan, bisa menjalankan program-program pemenuhan HAM bagi para korban secara efektif, tepat sasaran, dan berkelanjutan.
    • Mengutamakan pemenuhan HAM terhadap korban langsung, terutama yang berkenaan dengan penenuhan hak di bidang kesehatan (karena para korban langsung kini sudah lanjut usia dan kondisi mereka sering sakit-sakitan), hak di bidang perumahan (agar di masa tuanya mereka memiliki tempat tinggal yang lebih layak), dan hak di bidang ekonomi, yang di antaranya bisa dalam bentuk bantuan modal usaha (selain bisa membantu meningkatkan taraf hidup dan perekonomian keluarga, bantuan modal usaha ini pun bisa ditujukan untuk mengisi aktivitas para korban di masa tua mereka sebagai bagian dari proses pemulihan trauma).
  5. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk mengambil langkah-langkah konkret dan langkah-langkah afirmatif, sekurang-kurangnya yang sesuai dengan kesanggupan dan kewenangan, baik di tataran politik-kebijakan, sosial-ekonomi, maupun psiko-sosial, di samping menjalankan program pemenuhan HAM sebagai-mana yang dimandatkan Perwali.
  6. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk menjaga dan memperkuat proses rekonsiliasi yang selama ini telah dirajut agar bisa terus berlanjut dan berdampak lebih luas. Langkah-langkah yang bisa dilakukan di antaranya adalah dengan memberi dan membuka ruang lebih lebar kepada para korban untuk “mengungkapkan kebenaran” atas peristiwa yang pernah mereka alami dan melibatkan mereka secara penuh untuk turut berpartisipasi dalam berbagai proses tahapan dan kegiatan pembangunan di Kota Palu tanpa dihantui dengan ketakutan dan kecemasan serta adanya tekanan, ancaman, stigmatisasi, dan diskriminasi sebagaimana yang pernah terjadi dan mereka alami di masa lalu.
  7. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap para korban yang mengalami kerja paksa di Kota Palu; dan sekaligus menandai lokasi-lokasi tempat kerja paksa tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perkembangan dan pertumbuhan Kota Palu. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa proses pembangunan sejumlah infrastruktur, fasilitas, dan sarana publik yang kini ada dan dinikmati oleh warga Kota Palu merupakan hasil jerih payah dan kontribusi dari para korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 yang kala itu dipekerjapaksakan.
  8. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk melakukan verifikasi lanjutan terhadap anak-anak korban sebagai “korban terdampak langsung”, agar mereka bisa menikmati program pemenuhan HAM secara lebih merata dan tepat sasaran. Proses verifikasi terhadap korban Peristiwa 1965/1966 baru mencakup korban langsung; sementara, program pemenuhan HAM yang dimandatkan oleh Perwali mencakup juga keluarga (anak-anak dan cucu korban) yang merupakan “korban terdampak langsung”.
  9. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk mengusulkan kepada Dinas Pendidikan untuk memasukkan materi Hak Asasi Manusia dan Konteks Peristiwa 1965/ 1966 di Kota Palu sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah, sekurang-kurangnya sebagai muatan lokal.
  10. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk menyosialisasikan hasil penelitian dan verifikasi ini kepada berbagai pihak, khususnya kepada segenap warga Kota Palu, agar informasi mengenai pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 yang terjadi di Kota Palu bisa menjadi pengetahuan dan bahan pembelajaran bersama untuk menata kehidupan yang lebih baik di masa depan.

 

Unduh Ringkasan Eksekutif Penelitian dan Verifikasi Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu :

 

Tinggalkan Komentar