72Pada 11 Januari 2023, atas nama bangsa dan negara, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo secara terbuka menyatakan penyesalan dan pengakuan atas terjadinya 12 pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Pada kesempatan tersebut, Presiden Joko Widodo juga menyampaikan rasa simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Pengakuan negara itu kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No.2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, yang kemudian dikenal sebagai Program PPHAM.Beragam tanggapan datang dari berbagai pihak menanggapi pengakuan presiden tersebut. Sebagian kalangan, termasuk dari sejumlah organisasi masyarakat sipil, bahkan ada yang menolaknya. Bagi mereka, negara tidaklah cukup memberikan pengakuan jika hanya bersandar pada penyelesaikan non-yudisial. Negara wajib menempuh proses penyelesaian yudisial untuk bisa memenuhi hak atas keadilan, terutama bagi para korban.Meskipun secara eksplisit dinyatakan bahwa penyelesaian non-yudisial ini tidak akan menutup pintu bagi penyelesaian yudisial, sebagian kalangan khawatir, proses penyelesaian yudisial akan menjadi semakin lama tertunda dan akhirnya akan dilupakan. Proses penyelesaian non-yudisial yang dipilih saat ini pun dipandang hanya pemanis dari Presiden Joko Widodo yang akan mengakhiri masa jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada 2024 dan pernah berjanji akan menyelesaikan secara tuntas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Proses penyelesaian yang ditempuh ini pun hanya dimaksudkan sebagai “hadiah penghiburan” bagi para korban agar negara bisa sejenak mencuci tangan.Sebagai organisasi yang hampir 20 tahun mendampingi para korban pelanggaran HAM di Sulawesi Tengah, SKP-HAM Sulawesi Tengah menerima pengakuan negara itu dengan terbuka. Bertolak dari pengalaman SKP-HAM di Kota Palu yang pernah menempuh upaya yang kurang lebih serupa, khusus untuk pelanggaran HAM yang berat Peristiwa 1965/1966, mekanisme ini tetap bisa menjadi penopang bagi para korban untuk bangkit dari keterpurukan.Tentu saja, penyesalan dan pengakuan negara atas terjadinya 12 pelanggaran HAM yang berat ini bukanlah bentuk yang sempurna, yang sanggup mengakomodasi semua hak dan kepentingan para korban pelanggaran HAM yang telah berpuluh tahun diperjuangkan. Dari diskusi yang dilakukan bersama para korban Peristiwa 1965/1966 di Sulawesi Tengah yang selama ini kami dampingi, penyesalan dan pengakuan negara tersebut ditanggapi positif dengan sejumlah catatan.Bagi para korban, pengakuan negara itu memberi penegasan bahwa mereka yang selama ini dicap sebagai pengkhianat negara adalah tidak terbukti: mereka tidak bersalah! Hal yang perlu dipastikan kemudian adalah bagaimana negara bisa memulihkan nama baik mereka serat bertindak untuk memupus stigma dan diskriminasi yang selama berpuluh tahun mereka terima. Negara pun perlu menjamin dan memastikan agar peristiwa pelanggaran HAM tidak akan berulang di mana mendatang.Langkah ke depanSKP-HAM Sulawesi Tengah sangat menyadari bahwa penyelesaian non-yudisial yang ditempuh saat ini bukanlah mekanisme yang ideal. Hak-hak korban yang dipenuhi baru sebagian. Hak atas keadilan bagi korban harus tetap ditegakkan. Begitupun dengan jaminan agar peristiwa pelanggaran HAM tidak lagi berulang di masa mendatang. Oleh karena semua itu adalah hal yang prinsipil, SKP-HAM akan berada di barisan terdepan untuk terus memperjuangkannya.Akan tetapi, terlepas dari segala bentuk ketidakidealan, terbersit seberkas harapan, para korban pelanggaran HAM itu, sekurang-kurangnya, kini telah bisa “diakui” keberadaannya: bahwa mereka nyata adanya, patut mendapatkan perhatian, bukan semata-mata karena mereka warga negara Indonesia yang secara konstitusional memiki hak yang sama sebagaimana warga negara lainnya. Lebih dari itu, mereka memang layak untuk dibela karena selama berpuluh tahun negara telah abai terhadap mereka dan telah merampas hak-hak mereka sebagai manusia.Pascapengakuan dan terbitnya Instruksi Presiden No.2 Tahun 2023, hal yang seterusnya mesti dilakukan adalah memastikan implemetasinya. Bagaimanapun, tantangan yang harus dihadapi di depan justru semakin banyak dan kompleks. Dinamika dan konstelasi politik mungkin akan jadi tantangan terbesar mengingat tahun 2024 adalah “tahun pemilihan”, baik di tingkat daerah maupun nasional. Pada 2024 mendatang, Indonesia pun akan memiliki presiden baru, rezim baru, dan biasanya akan diiringi dengan kebijakan-kebijakan baru. Hal yang harus kami pastikan, penegakkan dan kebijakan berperspektif HAM tidak boleh sampai terlempar jauh surut ke belakang.Ya, kerja belum selesai, belum apa-apa. Di depan, jalan terjal bagi perjuangan para korban pelanggaran HAM mungkin masih akan sangat panjang.***