Beranda » Laporan » Rekomendasi Kebijakan » Rekomendasi untuk Tim PPHAM

Rekomendasi Kebijakan

Rekomendasi untuk Tim PPHAM

0 komentar 126 dilihat

Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat di masa lalu adalah tanggung jawab negara. Presiden Indonesia, Joko Widodo bahkan mencantumkan penghormatan terhadap HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu sebagai bagian dari Nawacita, sembilan agenda prioritas yang akan dijalankan dalam masa pemerintahannya.

Terlepas dari soal pelaksanaan agenda prioritas untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM tidak kunjung direalisasikan oleh Presiden Joko Widodo pada periode pemerintahannya yang pertama, sebagai organisasi yang mendampingi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang berat Peristiwa 1965/1966 di Sulawesi Tengah, SKP-HAM Sulawesi Tengah berusaha menyikapi positif dengan gagasan Pemerintah Indonesia yang kini berniat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu melalui mekanisme non-yudisial. Penyikapan positif SKP-HAM Sulawesi Tengah tentu saja dengan sejumlah catatan. Catatan paling penting adalah mekanisme penyelesaian non-yudisial yang kini sedang digagas tidak serta merta menutup kemungkinkan dan mengabaikan mekanisme penyelesaian yudisial. Secara prinsipil, penyelesaian yudisial adalah bagian dari hak korban.

Keppres No.17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) memandatkan kepada Tim PPHAM untuk melakukan pengungkapan dan analisis terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu dan mengusulkan rekomendasi langkah pemulihan bagi para korban atau keluarganya. Sekaitan dengan hal ini, SKP-HAM Sulawesi Tengah mengajukan butir-butir rekomendasi yang ditujukan kepada Tim PPHAM agar bisa dipertimbangkan dan ditindaklanjuti:

  1. Untuk memenuhi hak atas kebenaran, Presiden Indonesia dapat menyampaikan, sekurang-kurangnya, pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat masa lalu yang mengakibatkan jutaan warga negara menjadi korban. Pernyataan menyesal itu bisa dalam bentuk pidato kenegaraan, sebagai ajakan untuk memulihkan martabat bangsa, untuk belajar dari peristiwa kekerasan dimasa lalu itu agar pelanggaran HAM tidak terulang kembali di masa yang akan datang.
  2. Untuk memenuhi hak atas keadilan, oleh karena penyelesaian saat ini adalah penyelesaian non-yudisial, negara tetap tidak boleh menutup kemungkinan dan mengabaikan proses penyelesaian secara yudisial.
  3. Untuk memenuhi hak atas pemulihan, hal penting yang perlu dilakukan adalah pemulihan nama baik korban sebagai bagian dari pemulihan harkat dan martabat sebagai manusia. Untuk hal ini, Presiden Joko Widodo dapat mengirim surat resmi secara langsung kepada seluruh korban, atau kepada keluarga korban, yang berisikan penyataan pemulihan nama baik, penyesalan negara atas peristiwa yang telah terjadi, serta komitmen negara untuk memenuhi hak-hak korban.
  4. Pemulihan hak-hak-korban harus dilakukan sepenuhnya, baik hak konstitusional maupun hak sebagai warga negara.
  5. Secara khusus, negara perlu untuk melakukan pemulihan secara psikologis karena korban telah mengalami stigma selama berpuluh tahun, dan mengambil langkah dan tindakan agar stigmatisasi terhadap korban tidak lagi terjadi, baik secara struktural maupun kultural. Seiring dengan itu, pemulihan secara sosial-ekonomi pun perlu diupayakan dan dilakukan karena berpuluh tahun korban telah dipinggirkan dan mengalami “pemiskinan” secara struktural.
  6. Untuk memenuhi hak atas jaminan ketidakberulangan, negara perlu membuka semua arsip yang terkait dengan semua peristiwa Pelanggaran HAM Berat dan mengambil langkah-langkah konkret untuk menyusun kembali narasi sejarah. Sejalan dengan itu, penting juga untuk membangun memorialisasi atas peristiwa-peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang telah terjadi untuk menjadi pengingat dan penanda agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
  7. Negara perlu menguatkan, menyusun, dan mengimplementasikan kebijakan yang bisa menjamin peristiwa pelanggaran HAM tidak berulang di masa mendatang, termasuk di dalamnya adalah mensinkronisisasikan semua kebijakan dan mereformasi kelembagaan negara agar selaras dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip HAM.
  8. Sebagai bagian dari proses pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban, negara perlu melakukan pendokumendasian dan pendataan kembali terhadap korban secara menyeluruh agar korban yang tercakup dalam proses penyelesaian non-yudisial ini akan menyeluruh, tidak hanya sebatas pada data korban yang sementara ini dimiliki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Khusus untuk pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966, pendataan korban bisa bekerja sama dengan TNI/Polri, yang secara institusional, mereka memilki catatan dan data yang lengkap terkait dengan nama-nama korban.

* * *

Tinggalkan Komentar