27.9 C
Palu
27 April 2024
Aktivitas

Melepas Belenggu dan Trauma Politik Masa Lalu

BAK orasi pada sebuah aksi. Semua orang berbicara lantang dan kritis. Luapan perasaan yang terkungkung puluhan tahun, meletup di ruang khidmat pada gelaran pembacaan doa syukuran atas pengakuan negara kepada korban pelanggaran HAM berat peristiwa 1965/1966, SKP HAM Sulteng, Jumat 22 Desember 2023, lalu.  Semua orang seolah menemukan kebebasannya. Pemandangan itu terlihat pada pengakuan beberapa orang korban pelanggaran HAM Berat masa lalu, di SKP HAM pekan lalu.

Mereka menyampaikannya melalui layar zoom.  Ada yang menuliskannya di kain polyester yang disiapkan beranda SKP HAM. Namun ada pula yang memberikan kesaksian langsung di hadapan seratusan warga yang hadir digelaran itu.  Sukesi adalah salah satunya. Ayahnya, Soekapto adalah seorang tentara. Sepulang dari Operasi Pembebasan Irian Barat, ayahnya langsung dipecat  karena tertuduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia. Tanpa proses peradilan.  Sukesi menghabiskan sekira 7 menit di layar zoom untuk menumpahkan kekesalan hatinya dan semua perlakuan tidak adil yang diterimanya sejak kecil hingga dewasa. Ayahnya, sepulang dari Irian Jaya langsung ditangkap. Dimasukan di penjara. Ibunya sendirian menghidupi anak-anak. Tidak mendapat tunjangan. Tidak mendapat beras. Ia lalu jeda sesaat, tangisnya tak mampu dibendungnya. ‘’Kami anak-anaknya masih kecil-kecil sampai dewasa berusaha sendiri,’’ ucapnya kemudian setelah mampu mengontrol emosinya.

Dari layar zoom, testimoni beralih ke ruang di SKP HAM, yang dihadiri para  pejabat dari Pemerintah Kota Palu serta Pemerintah Provinsi Sulteng. Pengakuan Endah Rahmawati, anak korban PKI lainnya membuat ia dan adik – adiknya kesulitan bahkan untuk sekadar mencari kerja. Walau peristiwa sudah bertahun lewat namun kesedihan tetap menggantung di wajah ovalnya. Ia menyamarkan wajah sedihnya dengan masker biru pucat yang menutup sepotong wajahnya. Namun guratan kegeraman tetap terlihat dari gestur tubuhnya. Gejolak emosinya membahana dari pelantang suara yang berdiri kaku.  Suaranya bergetar.  Nadanya tegas. Usai menyampaikan isi hatinya, sesaat ia menurunkan maskernya dan mengelap sudut matanya. ‘’Terima kasih Ibu Ela yang sudah membantu kami selama ini. Sekali lagi terima kasih,’’ ungkap Endah mengakhiri kisahnya.

Pengakuan lainnya datang dari seorang ibu asal Kelurahan Tanamodindi. Ia mengelak menyebut namanya. Ia adalah anak tentara dari kesatuan Brawijaya yang sejak kecil mengikuti kedua orang tuanya dari Jawa. Ia mengaku, 30 tahun ‘’menyembunyikan’’ diri tidak mau mengungkap identitas aslinya karena stigma anak PKI yang menurutnya sangat kejam. 30 tahun ‘’bersembunyi’’ di balik seragam karyawan Toserba Sentosa,  sekilas terasa aman. Setidaknya, bagi orang-orang yang melihatnya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia sangat menderita karena beban sebagai anak tertuduh PKI yang dipecat tanpa proses peradilan adalah hukuman berat bagi dia, ibu dan adik-adiknya.

Di beranda Sekretariat SKP HAM Sulteng, kain polyester memanjang menutupi sebagian dinding beton. Di sana tertulis pesan dan kesan, korban pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Periode 1965/1966.  Mereka yang tidak kebagian memberikan kesaksian di layar zoom, memilih kain spanduk untuk menuliskan isi hatinya. ‘’Alhamdulilah nama baik sudah dipulihkan oleh negara. Dan negara telah bertanggungjawab terhadap pemenuhan  hak-hak korban. Terima kasih Bapak Presiden, Ibu Menteri Sosial dan Bapak Gubernur serta jajarannya serta SKP HAM,’’ tulis keluarga Marsio. Ia pun menulis nama anggota keluarga dengan tinta hijau. Di antaranya Diah Ekasari, Dian Koestrayini, Suci Endarwati dan Pangestu Muwardani.  ‘’Syukur alhamdulilah, penantian yang sangat panjang,’’ tulis salah satu anggota keluarga Soeparni – Kasmina. Ia menulisnya dengan huruf kapital yang mencolok. Menyiratkan protes yang tercekat lama di dalam batinnya.  Mereka para korban maupun anak serta cucu yang berasal dari Parigi dan Kota Palu, merasa hari itu adalah hari bersejarah. Bisa mengekpsresikan aspirasi dan menikmati hak sebagai warga negara yang merdeka.

Bak  burung yang ingin terbang, namun sayap-sayapnya terikat oleh kebijakan politik yang mengunci nyaris setiap gerak lincah mereka. Dalam pergumulan batinnya,  para korban HAM berat itu tetap berharap, suatu hari nanti angin kebebasan akan mengembalikan hak-hak  yang terpenjara. Harapan itu tersirat dari coretan maupun statemen mereka. Harapan yang kemudian terbukti sebagaimana yang mereka nikmati siang itu, pada Jumat 22 Desember 2023.

Asisten II, Pemkot Palu dr Husaema dan Adiman SH, yang mewakili Gubernur Sulteng, pemerintah akan menjamin hak-hak para korban HAM Berat masa lalu, seperti halnya hak warga negara pada umumnya. Semua pihak menurut keduanya, harus menjadikan momentum ini sebagai titik awal mempererat persaudaraan. Membangun kebersaman sebagai warga bangsa.

Di podium yang sama,  Direktur SKP HAM, Nurlaela Lamasitudju mengatakan, pengakuan dari negara menurut dia bukan hanya untuk para korban tapi untuk semua warga negara. Karena manusia harus meletakkan derajat kemanusiaan lebih tinggi dari urusan politik manapun di negara ini. Ia pun menyebut dua nama yang menurutnya  sangat berjasa dalam penelusuran identitas para korban selama 19 tahun perjuangannya. Keduanya adalah, almarhum Almutiah dan almarhum Asmin Yodjodolo. Dua orang ini memberikan andil besar membantu dan mengawal perjuangan SKP HAM Sulteng. Disusul 9 nama lainnya yang kesemuanya sudah meninggal sangat berjasa  memberikan sumbangsih  terhadap SKP HAM mengungkap kasus ini.

Secara khusus, Ela menyebut almarhum Sersan Bantam.  Dia adalah saksi pelaku, tentara di Korem 132 Tadulako. Sersan Bantam membuka peta jalan, bahwa empat warga yang masih hilang, sesungguhnya bukan hilang. Mereka sudah ditembak mati. Peristiwa eksekusi ini terjadi pada tahun 1967.

‘’Mudah-mudahan setelah ini tidak ada lagi anak dan cucu korban yang takut menggunakan nama belakangnya, yang puluhan tahun terstigma. Sebaliknya harus bangga bahwa, ibu saya atau ayah saya hanya korban bukan pelaku sebagaimana yang dituduhkan,’’  begitu Ela memberi motivasi. Pernyataan Ela ini kemudian disambut tepuk tangan meriah siang itu.

Hajatan sederhana yang berlangsung setengah hari itu, adalah tarian kemenangan. Kemenangan dari belenggu politik yang menyiksa. Lantunan suara doa yang meriung menembus langit, mengantar mereka sebagai individu yang merdeka dan berhak menikmati  fasilitas terbaik di rumah besar Indonesia. ***

Penulis       : Amanda
Foto-foto : Amanda

Sumber: Roemah Kata

Tulisan terkait

Pentingnya Pemulihan Psikologi Korban Pasca Konflik dan Bencana

Rini Lestari

Mombine Padagi (Perempuan Tangguh)

SKP-HAM Sulteng

Mariana: “Saya Tidak Malu Jadi Anak Korban”

Desmayanto

Tinggalkan Komentar