30.8 C
Palu
10 Mei 2024
Advokasi

Napak tilas SKP-HAM: Kerja paksa, bom Maesa, dan bencana 2018

Sekumpulan orang meriung di sebuah rumah yang terletak di Lorong Saleko 2, satu gang pada poros Basuki Rahmat, Birobuli Selatan, Palu.

Mereka yang berkumpul ialah para korban dan keluarga penyintas pelanggaran hak asasi manusia. Adapun rumah tempat mereka berkumpul adalah kantor Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM), satu organisasi yang fokus mendampingi korban pelanggaran HAM di Sulawesi Tengah.

Selain para korban pelanggaran HAM, tampak pula sejumlah pegiat dan relawan SKP HAM, serta anak-anak muda yang menaruh minat pada isu sosial dan HAM. Mereka berkumpul untuk merayakan hari jadi SKP-HAM yang ke-18, Minggu (16/10).

Perayaannya sudah dimulai sejak pagi. Kali ini, mereka bakal masuk ke agenda berikutnya: Napak tilas ke lokasi pelanggaran HAM. 

Napak tilas macam ini sudah dilaksanakan sejak 2013. Pada tahun ini, SKP-HAM angkat tiga topik utama: Kerja paksa (korban tragedi 1965), bom Maesa (bom Pasar Daging Maesa 2005), dan penyintas bencana 2018.

Lepas jeda makan siang, perjalanan napak tilas segera dimulai. Peserta napak tilas, yang berjumlah 30-an orang menumpang dalam empat mobil dan satu kendaraan bak terbuka yang disediakan panitia. Ada pula yang pilih naik kendaraan roda dua. 

Saya ikut mobil yang menampung lima orang. Dua di antaranya ialah sepasang saudara dari Dolo, Sigi, Lili (22) dan Dita (15). Mereka berdua adalah keluarga korban tragedi 1965.

Ini kali pertama bagi Lili dan Dita mengikuti program napak tilas. Namun cerita tentang pelanggaran HAM sudah mereka dengar dari Sang Ibu. Mereka tahu bahwa kakek-nenek mereka menjadi korban tragedi 1965. 

Pasar Daging Maesa

Perhentian pertama kami ialah satu titik di Jalan Sulawesi, Maesa. Kami turun dari mobil dan masuk pada sebuah bangunan semi permanen dengan dinding seng. Suasana di dalam bangunan agak gelap dan pengap. Bau amis masih menguar, pertanda pasar ini baru saja dipakai berjualan. Beberapa sisa potongan daging juga masih terlihat di atas meja beton.

Bangunan semi permanen itu ialah saksi sebuah tragedi pilu pada satu pagi, 31 Desember 2005. Bom meledak di pasar daging Maesa. Delapan orang tewas dan 53 lainnya menderita luka-luka. Teror. 

Daniel Edward, salah seorang yang selamat dari peristiwa sadis itu berbagi cerita pada kami. Pada hari biadab itu, Daniel sedang berkeliling cari daging dengan istrinya. Maklum itu jelang malam pergantian tahun. Waktunya makan besar. 

Mata Daniel seketika berkaca-kaca mengenang istrinya. Suaranya tertahan sebentar. “Saat bom meledak, semua gelap dan bau belerang. Saya tetap sadar. Tapi istri saya kakinya lepas,” kata Daniel. Istri Daniel berpulang dalam peristiwa laknat itu. Ia meninggalkan empat anak. 

Beberapa peserta napak tilas hanya bisa menunduk. Sesak dada dengar cerita Daniel. Seketika suasana dipenuhi duka. Seorang peserta lantas bertanya, bagaimana cara Daniel menyampaikan peristiwa tersebut kepada anak-anaknya?

Daniel menjawab bahwa setiap anak diperlakukan secara berbeda tergantung kondisi mentalnya. “Di awal-awal tidak mudah menerima dan memaafkan kejadian ini. berat sekali,” kata Daniel. “Akan tetapi setelah menerima, semua jadi terasa lebih ringan.”

Setelah Daniel bertutur, sepasang suami yang jadi korban bom turut menyampaikan pengalaman mereka. Saat kejadian, mereka tidak jauh dari bom. Kaki kanan Sang Suami hancur. Sang Istri kehilangan separuh kaki kiri. Mereka sekarang pakai kaki palsu. 

Ada tawa pilu terbersit saat dengar senda gurau dari keduanya. “Berkat (bom) ini, kami selalu sama-sama. Kalau lagi jalan, kami sering gandengan. Kami jadi makin romantis,” katanya baku-sedu.

Bekas Jembatan Kuning

Sebelum roboh dihantam katastrofe 28 September 2018, jembatan lengkung berwarna kuning ini jadi satu landmark penting di Palu. Bekas jembatan kuning ini jadi tempat persinggahan kami yang kedua.

Kali ini ada dua topik utama yang diceritakan: gempa dan kerja paksa bagi para korban tertuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam tragedi 1965. Anto dan Jefri dari Komunitas Historia Sulteng menjelaskan tentang peristiwa kebencanaan. Sedangkan kisah pilu kerja paksa datang dari Asman Yodjodolo (78), mantan tahanan politik yang dipenjara selama 13 tahun.

Asman berkisah sambil sesekali menunjuk udara kosong untuk memperlihatkan lokasi kerja paksa. Dahulu, ia berprofesi sebagai guru. Ia juga aktif jadi pimpinan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), organisasi yang dicap sebagai onderbouw PKI.

Asman ditangkap saat sedang mengajar. Ia dibawa ke kantor polisi, tanpa banyak penjelasan soal penangkapan. Aparat asal tangkap. Benar atau salah urusan nanti.

Asman dicambuk dengan bambu yang dipotong tipis. Punggungnya berdarah-darah. Dua bulan lamanya dia harus tidur tengkurap lantaran luka di punggungnya.

Dalam penjara, para tapol tidak menetap lama. Pasalnya, mereka lebih banyak dipekerjakan secara paksa untuk sejumlah proyek. Dalam catatan SKP-HAM Sulteng, ada 17 titik lokasi kerja paksa, misal: Jalan Basuki Rahmat (1967-1970), Bandara Mutiara (1972), Menara TVRI Palu (1972-1973), Korem 132 Tadulako (1972-1973), Pelabuhan Pantoloan (1975), dan Kantor Gubernur Sulteng (1975).

Selain kerja paksa, mereka juga sering diperintahkan menyapu selokan. Bila kebetulan berjumpa kenalan di lokasi kerja paksa, tidak ada yang berani saling sapa. Bertegur sapa dengan para tapol bisa bikin masuk penjara.

Saat kerja paksa di Kebun Kopi, salah seorang teman Asman meninggal karena kedinginan. Kala itu kabut tebal sering menyelimuti wilayah tersebut. Ratusan orang dari berbagai daerah bekerja di situ.

Pada satu sore, Asman pamit ingin makan bersama tiga orang kawannya. Perut mereka keroncongan. Belum makan sejak pagi. Alih-alih diberi makan atau (minimal) izin, mereka malah disuruh berdiri dan diancam akan ditembak. Letusan menggelegar bikin teror. Kemanusiaan diinjak-injak di ujung bedil aparat.

Kerja Paksa diberi upah sepiring nasi, lauk kangkung dipotong panjang, dan lima ekor rono. Bila sedang nahas, mereka cuman dapat jatah makanan berupa air kangkung berwarna hijau. Pada waktu lain, makanan mereka sudah dicampur beling lampu neon yang ditumbuk halus. Makanan itu berkilauan. Mereka pun sempat kegirangan karena mengira itu lauk.

Hal pilu lainnya, kerja paksa tak kenal libur termasuk saat momen lebaran. Nyaris tiada kesempatan untuk sekadar merayakan hari besar keagamaan, atau mengucap syukur pada Yang Maha Kuasa.

Huntara Hutan Kota

Hunian Sementara di Hutan Kota jadi titik persinggahan kami yang terakhir. Sri Tini Haris, salah satu penyintas yang mendiami huntara, menyambut rombongan kami dengan penuh suka. 

Sri jadi penutur di lokasi pengujung ini. Ia berkisah tentang puluhan demo dan dialog yang sudah dilalui untuk memenuhi hak penyintas bencana. Namun nasib baik tak kunjung tiba. Masih banyak penyintas yang hidup di huntara tanpa kejelasan nasib.

Pernah terpikirkan oleh Sri untuk membangun ulang pondokan persis di lokasi rumahnya yang sudah habis dihantam tsunami. Namun lokasi tersebut sudah masuk zona merah. “Saya pikir-pikir, kasih jago saja berenang kalau mau bangun ulang rumah di sana,” katanya separuh bercanda. 

Sri juga sudah didata. Tanahnya bersertifikat, tapi tidak dapat bantuan hunian tetap. Di saat yang sama, Hotel Palu Golden dibiarkan tetap berdiri meski masuk zona merah.

Walau dirundung susah, Sri tetap bertahan. Demi bisa memenuhi kebutuhan, kata Sri, dirinya perlu menempuh macam-macam jalan, mulai dari cari kayu untuk dijual, hingga bikin pupuk kompos.

Memang tak mudah hidup di huntara. Sri mengenang seorang temannya yang memilih menyudahi hidup. “Lebih baik kita bunuh diri sama-sama, kita minum racun sama-sama,” temannya yang asli Makassar itu sempat berkata demikian sebelum menyudahi hidupnya.

Dua hari berselang, perkataan itu diulang kembali di hadapan Sri. Kali ini jauh lebih serius. “Coba cium (aroma) mulutku,” kata temannya sesat sebelum berpulang. Ada bau cairan pembersih dari sana. Semua sudah terlambat, tak lama kemudian temannya sekarat, dan meninggal dunia. 

Masalah lain di huntara ialah banyaknya kasus pelecehan seksual. Salah seorang yang jadi korban ialah anak-anak berusia 14 tahun. 

Kami pulang selepas dari huntara Hutan Kota. Wisata memanglah menyenangkan. Namun kali ini suguhan wisata kami menghadirkan sejarah kelam kemanusiaan. Alhasil dalam perjalanan pulang, rombongan kami lebih banyak diam.

Barangkali semuanya sedang merenung tentang kisah tragedi kemanusiaan yang baru saja kami dengar. Pun mungkin sedang bertanya-tanya: Bagaimana menghindarkan tragedi kemanusiaan di masa akan datang?

Sumber: TUTURA.ID

Tulisan terkait

Hunian Tetap dalam Perspektif HAM

Amin Roro

Melepas Belenggu dan Trauma Politik Masa Lalu

Lia Fauziah

SKP-HAM Dukung Seruan Aksi Solidaritas Keadilan bagi Erfaldi

SKP-HAM Sulteng

Tinggalkan Komentar